Syaikh Nawawi Al Bantani
Syaikh Nawawi Al Bantani (Al Jawi)
Syaikh Nawawi Al Bantani adalah Penghulu Para Ulama Hijaz (Sayid ’Ulama'il Hijaz). Begitulah gelar yang diberikan oleh para Ulama' hijaz di zamannya, kepada beliau. Arti kata Sayid adalah penghulu, sedangkan Hijaz adalah wilayah Saudi Arabiyah sekarang (yang di dalamnya termasuk kota Makkah dan Madinah). Dialah Syaikh Nawawi, yang lebih dikenal masyarakat Makkah sebagai Syaikh Nawawi Al Bantani, atau Syaikh Nawawi Al Jawi seperti yang tertulis dalam kitab-kitab karya beliau. Sedangkan Al Bantani adalah menunjukkan bahwa ia berasal dari Banten, dan sebutan al Jawi mengindikasikan muasalnya dari Jawa, sebutan untuk para pendatang dari negeri Nusantara, karena nama Indonesia kala itu belum dikenal oleh banyak kalangan masyarakat Arab. Kemudian di kalangan pesantren sekarang, menyebut ulama yang juga digelari asy Syaikh al Fakih itu sebagai Syaikh Nawawi Banten.
Syaikh Nawawi lahir dengan nama Muhammad Nawawi, pada 1230 H (1815 M) di Tanara, sekitar 25 km arah utara Kota Serang. Ayahnya, Umar ibnu Arabi adalah penghulu di kota itu. Pada awalnya Ayah beliau sendiri yang mengajar Syaikh Nawawi dan kedua saudaranya (Tamim dan Ahmad) tentang pengetahuan dasar bahasa Arab, Fikih, dan Tafsir. Selanjutnya Syaikh Nawawi bersama kedua saudaranya melanjutkan Tholabul ilmi ke Kiai Sahal, masih di Banten. Setelah itu Syaikh Nawawi bersaudara nyantri ke Purwakarta, Jawa Barat, kepada Kyai Yusuf, yang mempunyai banyak santri dari segenap penjuru pulau Jawa.
Dan ketika masih remaja, mereka (Syaikh Nawawi bersaudara) menunaikan ibadah haji, yang kala itu Syaikh Nawawi baru berusia 15 tahun, dan tinggal selama tiga tahun di mekah. Tapi, kehidupan intelektual Kota Suci itu rupanya mengiang-ngiang dalam diri si sulung, Syaikh Nawawi, sehingga tidak lama setelah tiba di Banten, ia pun mohon kepada Ayahandanya untuk dikembalikan lagi ke Mekah. Dan di sanalah beliau tinggal sampai akhir hayatnya. Beliau wafat pada 25 Syawwal 1314 H/1897 M, dalam usia 84 tahun. Kabar lain menyebutkan kembalinya ke Tanah Suci, setelah setahun di Tanara meneruskan pengajaran ayahnya, kemudian disebabkan situasi politik yang tidak menguntungkan, Beliau pun akhirnya kembali ke kota mekah. Agaknya kedua pendapat itu bisa dibenarkan.
Di Mekah, selama 30 tahun Syaikh Nawawi belajar pada ulama-ulama masyhur di zamannya. Diantaranya adalah :
Syaikh Nawawi lahir dengan nama Muhammad Nawawi, pada 1230 H (1815 M) di Tanara, sekitar 25 km arah utara Kota Serang. Ayahnya, Umar ibnu Arabi adalah penghulu di kota itu. Pada awalnya Ayah beliau sendiri yang mengajar Syaikh Nawawi dan kedua saudaranya (Tamim dan Ahmad) tentang pengetahuan dasar bahasa Arab, Fikih, dan Tafsir. Selanjutnya Syaikh Nawawi bersama kedua saudaranya melanjutkan Tholabul ilmi ke Kiai Sahal, masih di Banten. Setelah itu Syaikh Nawawi bersaudara nyantri ke Purwakarta, Jawa Barat, kepada Kyai Yusuf, yang mempunyai banyak santri dari segenap penjuru pulau Jawa.
Dan ketika masih remaja, mereka (Syaikh Nawawi bersaudara) menunaikan ibadah haji, yang kala itu Syaikh Nawawi baru berusia 15 tahun, dan tinggal selama tiga tahun di mekah. Tapi, kehidupan intelektual Kota Suci itu rupanya mengiang-ngiang dalam diri si sulung, Syaikh Nawawi, sehingga tidak lama setelah tiba di Banten, ia pun mohon kepada Ayahandanya untuk dikembalikan lagi ke Mekah. Dan di sanalah beliau tinggal sampai akhir hayatnya. Beliau wafat pada 25 Syawwal 1314 H/1897 M, dalam usia 84 tahun. Kabar lain menyebutkan kembalinya ke Tanah Suci, setelah setahun di Tanara meneruskan pengajaran ayahnya, kemudian disebabkan situasi politik yang tidak menguntungkan, Beliau pun akhirnya kembali ke kota mekah. Agaknya kedua pendapat itu bisa dibenarkan.
Di Mekah, selama 30 tahun Syaikh Nawawi belajar pada ulama-ulama masyhur di zamannya. Diantaranya adalah :
- Syaikh Abdul Ghani Bima
- Syaikh Yusuf Sumbulaweni
- Syaikh Nahrawi
- Syaikh Abdul Hamid Daghestani
- Syaikh Khatib Sambas, pemimpin tarekat Qadiriah, penulis kitab Fathul Arifin, bacaan pengamal tarekat di Asia Tenggara. Syaikh Khatib Sambas juga merupakan guru tokoh di balik pemberontakan petani Banten (1888)
- Syaikh Muhammad Khatib Hambali
- Syaikh Ahmad Dimyati
- Syaikh Ahmad Zaini Dahlan
- Syaikh Junaid Al-Betawi
Dalam penggambaran Snouck Hurgronje, Syaikh Nawawi adalah orang yang rendah hati. Dia memang menerima cium tangan dari hampir semua orang di Mekah, khususnya orang Jawa, tapi itu hanya sebagai penghormatan kepada ilmu. Kalau ada orang yang meminta nasihatnya di bidang fikih, dia tidak pernah menolaknya. Snouck Hurgronje pernah menanyakan, mengapa dia tidak mengajar di Masjid al-Haram, Syaikh Nawawi menjawab bahwa pakaiannya yang jelek dan kepribadiannya yang tidak cocok dengan kemulian seorang profesor berbangsa Arab. Sesudah itu Snouck mengatakan bahwa banyak orang yang tidak berpengetahuan tidak sedalam dia, toh mengajar di sana juga. Syaikh Nawawi menjawab, “Kalau mereka diizinkan mengajar di sana, pastilah mereka cukup berjasa untuk itu”.
Pada tahun 1860-1970, Syaikh Nawawi mulai aktif memberi pengajaran. Mata pelajaran yang diajarkan oleh Syaikh Nawawi meliputi Fikih, Ilmu Kalam, Tasawuf/Akhlak, Tafsir, dan Bahasa Arab. Tapi itu dijalaninya hanya pada waktu-waktu senggang, sebab antara tahun-tahun tersebut beliau sudah sibuk menulis buku-buku.
Pada tahun 1860-1970, Syaikh Nawawi mulai aktif memberi pengajaran. Mata pelajaran yang diajarkan oleh Syaikh Nawawi meliputi Fikih, Ilmu Kalam, Tasawuf/Akhlak, Tafsir, dan Bahasa Arab. Tapi itu dijalaninya hanya pada waktu-waktu senggang, sebab antara tahun-tahun tersebut beliau sudah sibuk menulis buku-buku.
- KH Khalil, Bangkalan, Madura, Jawa Timur.
- KH Mahfudh at-Tarmisi, Tremas, Jawa Timur.
- KH Asy’ari, Bawean, yang kemudian diambil mantu oleh Syaikh Nawawi dinikahkan dengan putrinya, Nyi Maryam.
- KH Hasyim Asy’ari, Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Kelak bersama KH Wahab Hasbullah mendirikan Nahdlatul Ulama (NU).
- KH Nahjun, Kampung Gunung, Mauk, Tangerang, yang dijadikan mantu cucu.
- KH Asnawi, Caringin, Labuan (kelak memimpin Sarekat islam di Banten).
- KH Ilyas, Kragilan, Serang.
- KH Abdul Ghaffar, Tirtayasa, Serang.
- KH Tubagus Bakri, Sempur, Purwakarta.
- KH Mas Muhammad Arsyad Thawil, Tanara, Serang, yang karena peristiwa Geger Cilegon kemudian dibuang Belanda ke Manado, Sulawesi Utara.
Setelah tahun 1870 Syaikh Nawawi memusatkan kegiatannya hanya untuk mengarang. Dan boleh dikata, Nawawi adalah penulis yang subur, kurang lebih dari 80 kitab yang dikarangnya. Tulisan-tulisannya meliputi karya pendek, berupa berbagai pedoman ibadah praktis, sampai tafsir al- Qur’an – sebagian besarnya merupakan syarah kitab-kitab para pengarang besar terdahulu. Berikut beberapa karya Syaikh Nawawi, mulai dari fikih, tafsir, sampai bahasa Arab :
- Sulam al-Munajah (Syarah dari kitab Safinah ash-Shalah karya Abdullah ibn Umar al-Hadrami).
- Al-Tsimar al-Yaniat fi riyadl al-Badi’ah (Syarah dari kitab Al-Riyadl al-Badi’ah fi Ushul ad-Din wa Ba’dhu furu’usy Sar’iyyah ’ala Imam asy-Syafi’i karya Syaikh Muhammad Hasbullah ibn Sulaiman).
- Uqud al-Lujain fi Bayani Huquq al-Jawazain (Kitab fikih mengenai hak dan kewajiban suami-istri).
- Nihayatuz Zain fi Irsyad al-Mubtadiin (Syarah dari kitab Qurratul ’aini bi muhimmati ad-Din karya Syaikh Zainuddin Abdul Aziz al-Malibari).
- Qami’al Thughyan (Syarah dari Syu’ub al Iman, karya Syaikh Zaenuddin ibn Ali ibn Muhammad al-Malibari).
- Bahjat al-Wasil bi Syarhil Masil (Syarah dari kitab Ar-Rasail al- Jami’ah Baina Ushul ad-Din wal-Fiqh wat-Tasawuf karya Sayid Ahmad ibn Zein al-Habsyi).
- Qut al-Habib al-Ghaib (Hasyiyah dari syarah Fathul Gharib al-Mujib karya Muhammad ibn Qasyim al-Syafi’i).
- Asy-Syu’ba al-Imaniyyat (Ringkasan dari dua kitab yaitu Niqayyah karya al-Sayuthi dan al-Futuhat al-Makiyyah karya Syaikh Muhammad ibn Ali).
- Marraqiyyul ’Ubudiyyat (Syarah dari kitab Bidayatul Hidayah karya Abu hamid ibn Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali).
- Tanqih al-Qaul al-Hadits (Syarah dari kitab Lubab al- Hadits karya al-Hafidz Jalaluddin Abdul Rahim ibn Abu Bakar as-Sayuthi).
- Murah Labib li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid (yang juga dikenal dengan nama Tafsir Munir).
- Salalim al-Fudlala (Ringkasan/risalah dari kitab Hidayatul Adzkiya’ ila Thariqil Awliya’ karya Zeinuddin ibn Ali al-Ma’bari al-Malibari).
- Nasaih al-Ibad (Syarah dari kitab Masa’il Abi Laits karya Imam Abi Laits).
- Minqat asy-Syu’ud at-Tasdiq (Syarah dari Sulam at-Taufiq karya Syaikh Abdullah ibn Husain ibn Halim ibn Muhammad ibn Hasyim Ba’lawi).
- Kasyifatus Saja (Syarah atas kitab Syafinah an-Najah karya Syaikh Salim ibn Sumair al-Hadrami).
Beberapa karya tulis Syaikh Nawawi yang diterbitkan di Mesir diantaranya adalah :
- Syarah al-Jurumiyah, isinya tentang tata bahasa Arab, terbit tahun 1881.
- Lubab al-Bayan (1884). Dhariyat al-Yaqin, isinya tentang doktrin-doktrin Islam, dan merupakan komentar atas karya Syaikh sanusi, terbit tahun 1886.
- Fathul Mujib. Buku ini merupakan komentar atas karya ad-Durr al-Farid, karya Syaikh Nahrawi (guru Nawawi) terbit tahun 1881.
- Dua jilid komentar tentang syair maulid karya al-Barzanji. Karya ini sangat penting sebab selalu dibacakan dalam perayaan-perayaan maulid.
- Syarah Isra’ Mi’raj, juga karangan al-Barzanji.
- Syarah tentang syair Asmaul Husna.
- Syarah Manasik Haji karangan Syarbini terbit tahun 1880.
- Syarah Suluk al-Jiddah (1883)
- Syarah Sullam al-Munajah (1884) yang membahas berbagai persoalan ibadah.
- Tafsir Murah Labib (Tafsir Munir).
Syaikh Nawawi menjadi terkenal dan dihormati karena keahliannya menerangkan kata-kata dan kalimat-kalimat Arab yang artinya tidak jelas atau sulit dimengerti yang tertulis dalam syair terkenal yang bernafaskan keagamaan. Kemasyhuran Nawawi terkenal di hampir seluruh dunia Arab. Karya-karyanya banyak beredar terutama di negara-negara yang menganut faham Syafi’iyah. Di Kairo, Mesir, ia sangat terkenal. Karya tulisnya di bidang Tafsir (Murah Labib) yang terbit di sana diakui mutunya dan memuat persoalan-persoalan penting sebagai hasil diskusi dan perdebatannya dengan ulama al-Azhar. Di Indonesia khususnya di kalangan pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam, serta peminat kajian Islam Syaikh Nawawi tentu saja sangat terkenal. Sebagian kitabnya secara luas dipelajari di pesantren-pesantren Jawa, selain di lembaga-lembaga tradisional di Timur tengah, dan berbagai pemikirannya menjadi kajian para sarjana, baik yang dituangkan dalam skripsi, tesis, disertasi, atau paper-paper ilmiah, di dalam maupun luar negeri.
- Abu abdul mu'thi Muhammad Nawawi bin
- Umar bin
- 'Arobi bin
- 'Ali bin
- Jamad bin
- Janta bin
- Masbugel bin
- Maskun bin
- Masnun bin
- Maswi bin
- Sulthon Sunyararas Tajul'arsy bin
- Sulthon Maulana Hasanuddin Banten bin
- Maulana Syarif hidayatullah bin
- Sulthon Abdullah bin
- Ali Nuruddin ('Ali Nurul 'Alam) bin
- Maulana Ibrohim Zainal Akbar Assamarqondy bin
- Jamaluddin Husain Al-Akbar (Muhammad Jumadil Kubro) bin
- Al-Imam Al-Sayyid Ahmad Syah Jalal bin
- Abdullah 'Azhmat Khon bin
- Amir Abdul Malik bin Al-Sayyid'Alawi('Ammil Faqih) bin
- Al-Sayyid Muhammad Shohib Mirbath bin
- Ali Khola' Qosam bin
- 'Alawi bin
- Muhammad bin
- 'Alawi Bin
- 'Ubaidillah bin
- Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin
- Isa Al-Rumy Al-Bashry bin
- Muhammad An-naqib bin
- Al-Imam 'Ali Al-'Uraidli bin
- Ja'far Shodiq bin
- Muhammad Al-Baqir bin
- Ali Zainal 'Abidin Al-Sajjad bin
- Sayyidina Al-Imam Husain bin
- Sayyidina 'Ali Bin Abi Tholib KW (wa Sayyidatina Fathimah Azzahra' Al-batul) binti
- Sayyidinaa Wa Maulana Muhammad SAW Ar-Rosul.
1. Menjadikan Telunjuknya Lampu.
Suatu ketika, beliau sedang menuangkan buah pikirannya dalam bentuk tulisan (yang sekarang kita mengenalnya dengan kitab Marâqi al-‘Ubudiyyah syarah Matan Bidâyah al-Hidayah). Sementara waktu itu beliau ada dalam sebuah perjalanan, karena tidak ada cahaya dalam syuqduf (rumah-rumahan), sedangkan aspirasi tengah memuncak mengisi kepala beliau. Syaikh Nawawi kemudian berdoa memohon kepada Allah Ta’ala agar telunjuk kirinya dapat menjadi lampu penerang supaya dapat menerangi jari kanannya yang digunakan untuk menulis. Kitab yang kemudian lahir dengan nama Marâqi al-‘Ubudiyyah syarah Matan Bidâyah al-Hidayah itu harus dibayar beliau dengan cacat pada jari telunjuk kirinya. Cahaya yang diberikan Allah pada jari telunjuk kiri beliau itu membawa bekas yang tidak hilang.
2. Melihat Ka’bah Dengan Telunjuknya.
Karomah beliau yang lain juga diperlihatkannya di saat mengunjungi salah satu masjid di Jakarta yakni Masjid Pekojan. Masjid yang dibangun oleh salah seorang keturunan cucu Rasulullah saw Sayyid Utsmân bin ‘Agîl bin Yahya al-‘Alawi. Masjid Ulama dan Mufti Betawi itu ternyata memiliki kiblat yang salah. Padahal yang menentukan kiblat bagi mesjid itu adalah Sayyid Utsmân sendiri. Kemudian, suatu ketika Sayyid Utsmân kedatangan tamu seorang anak remaja (Syaikh Nawawi muda) yang menyalahkan arah kiblat masjid Pekojan. Saat seorang anak remaja yang tak dikenalnya itu menyalahkan penentuan kiblat, kagetlah Sayyid Utsmân. Diskusipun terjadi dengan seru antara mereka berdua. Sayyid Utsmân tetap berpendirian kiblat Mesjid Pekojanya itu sudah benar. Sementara Syaikh Nawawi muda berpendapat bahwa arah kiblat masjidnya itu harus dibetulkan. Namun kesepakatan tak bisa diraih karena masing-masing mempertahankan pendapatnya dengan keras. Selanjutnya, Syaikh Nawawi meletakan tangan kirinya ke bahu Sayyid Utsmân (merangkul) dan tangan kananya menunjuk ke suatu arah, Syaikh Nawawi berkata : “Lihatlah Sayyid !, itulah Ka΄bah tempat Kiblat kita. Lihat dan perhatikanlah ! Tidakkah Ka΄bah itu terlihat amat jelas ? Sementara Kiblat masjid ini agak kekiri. Maka perlulah kiblatnya digeser ke kanan agar tepat menghadap ke Ka΄bah”. Ujar Syaikh Nawawi remaja”. Sayyid Utsmân termangu keheranan. Ka΄bah yang ia lihat dengan mengikuti telunjuk Syaikh Nawawi muda memang terlihat jelas. Sayyid Utsmân merasa takjub dan menyadari remaja yang bertubuh kecil di hadapannya ini telah dikaruniai kemuliaan, yakni terbukanya nur basyariyyah. Dengan karomah itu, di manapun beliau berada Ka΄bah tetap terlihat. Dengan penuh hormat, Sayyid Utsmân langsung memeluk tubuh kecil beliau. dan berjabat tangan sambil mencium tanganya, ketika Sayyid Utsmân ingin mencium tanganya, ditariklah tanganya (Syaikh Nawawi), Sayyid Utsmân pun kebingungan mengapa beliau tidak mau?, Sayyid Utsmân pun bertanya dan Syaikh Nawawi menjawab: “Karena saya tidak pantas untuk bersalaman sambil dicium begitu oleh Sayyid”. Subhanallah alangkah bagusnya akhlak beliau. Sampai saat ini, jika kita mengunjungi Masjid Pekojan akan terlihat kiblat digeser, tidak sesuai aslinya.
3. Tidur Di Lidah Ular.
Konon pada suatu malam hari dimana beliau melanjutkan perjalananya ke Mekkah, beliau kelelahan dan mencari sebuah gubuk yang tak berpenghuni. Setelah mencari-cari akhirnya beliau menemukan lampu yang sangat redup dan kecil. Akhirnya beliau tiba di tempat tersebut dan memulai untuk beristirahat. Dibenak beliau bertanya: “Kok lantai dasar rumah ini sangat lembut dan empuk ya ?”. Saking lelahnya beliah tidak terlalu mempersoalkan hal tersebut, tidurlah beliau dengan meletakan tongkatnya dengann posisi berdiri.
Pagi pun datang dan beliau terbangun dari tidurnya untuk sholat dan kemudian melanjutkan perjalananya. Setelah kurang lebih 7 langkah dari tempat peristirahatanya itu, beliau menyentuh darah dari ujung tongkatnya tersebut, dengan heran kemudian beliau menoleh kebelakang dan menemui ular raksasa yang sedang beranjak pergi. Tanpa disadari ternyata semalem beliau tidur dilidah seekor ular raksasa dan tongkatnya yang berposisi berdiri tersebut merintangi kedua gigi ular itu. Beliau pun langsung menyebut kalimat istigfar dan memuji kebesaran Allah SWT dengan mengucapkan kalimat kebesaran-NYA.
4. Mengeluarkan Buah Rambutan Dari Tangannya.
Di Mekkah beliau mendirikan tempat mengajar/sekolah dengan murid yang lumayan banyak. Disuatu hari beliau menerangkan kepada para santri-santrinya :
Syaikh Nawawi : “Sunnah Islam kalau berbuka puasa itu hendaknya memakan yang manis-manis terlebih dahulu, kalau disini terdapat buah kurma, ditempatku ada yang tidak kalah manisnya dengan kurma !”.
Santri-santri : ”Betul Syaikh kalo ditempat kami kurma, lalu bagaimana dengan tempat Syaikh yg tidak tumbuh buah kurma ?”
Syaikh Nawawi : “Sebentar”
Syaikh Nawawi langsung menyembunyikan tanganya ke belakang tubuhnya. Santri-santri pun sangat heran apa yang dilakukan gurunya tersebut dan terdengar ditelinga para santri-santri seperti suara orang yang sedang mengambil buah-buahan dari pohonya. Kemudian Syaikh Nawawi menyuguhkan buah Rambutan yang persis seperti baru diambil dari pohonya. Santri-santri pun sangat terheran-heran dengan apa yang dilakukan oleh gurunya tersebut.
“Nah ini yang aku makan pertama ketika berbuka puasa di tempatku, silahkan dicicipi”. Kata Syaikh Nawawi sambil membagika buah rambutan kepada para santri dikelasnya mengajar.
Para santri pun langsung mencicipi dan sangat menikmati kemanisan buah rambutan yang diberikan gurunya itu.
5. Jenazah beliau yang luar biasa.
Syaikh Nawawi Al Bantani wafat pada 25 Syawwal 1314 H/1897 M, dalam usia 84 tahun. Dan telah menjadi kebijakan Pemerintah Arab Saudi bahwa orang yang telah dikubur selama setahun kuburannya harus digali. Tulang belulang si mayat kemudian diambil dan disatukan dengan tulang belulang mayat lainnya. Selanjutnya semua tulang itu dikuburkan di tempat lain di luar kota. Lubang kubur yang dibongkar dibiarkan tetap terbuka hingga datang jenazah berikutnya terus silih berganti. Kebijakan ini dijalankan tanpa pandang bulu. Siapapun dia, pejabat atau orang biasa, saudagar kaya atau orang miskin, sama terkena kebijakan tersebut. Inilah yang juga menimpa makam Syaikh Nawawi. Setelah kuburnya genap berusia satu tahun, datanglah petugas dari pemerintah kota untuk menggali kuburnya. Tetapi yang terjadi adalah hal yang tak lazim. Para petugas kuburan itu tak menemukan tulang belulang seperti biasanya. Yang mereka temukan adalah satu jasad yang masih utuh. Tidak kurang satu apapun, tidak lecet atau tanda-tanda pembusukan seperti lazimnya jenazah yang telah lama dikubur. Bahkan kain putih kafan penutup jasad beliau tidak sobek, masih harum dan tidak lapuk sedikitpun.
Tentu saja kejadian ini mengejutkan para petugas. Mereka lari berhamburan mendatangi atasannya dan menceritakan apa yang telah terjadi. Setelah diteliti, sang atasan kemudian menyadari bahwa makam yang digali itu bukan makam orang sembarangan. Langkah strategis lalu diambil. Pemerintah melarang membongkar makam tersebut. Jasad beliau lalu dikuburkan kembali seperti sediakala. Hingga sekarang makam beliau tetap berada di Ma΄la, Mekah dan yang paling aneh kuburan beliau satu-satunya kuburan yang tumbuh rumput bahkan rumput nya hijau dan bagus. Subhanallah.
Suatu ketika, beliau sedang menuangkan buah pikirannya dalam bentuk tulisan (yang sekarang kita mengenalnya dengan kitab Marâqi al-‘Ubudiyyah syarah Matan Bidâyah al-Hidayah). Sementara waktu itu beliau ada dalam sebuah perjalanan, karena tidak ada cahaya dalam syuqduf (rumah-rumahan), sedangkan aspirasi tengah memuncak mengisi kepala beliau. Syaikh Nawawi kemudian berdoa memohon kepada Allah Ta’ala agar telunjuk kirinya dapat menjadi lampu penerang supaya dapat menerangi jari kanannya yang digunakan untuk menulis. Kitab yang kemudian lahir dengan nama Marâqi al-‘Ubudiyyah syarah Matan Bidâyah al-Hidayah itu harus dibayar beliau dengan cacat pada jari telunjuk kirinya. Cahaya yang diberikan Allah pada jari telunjuk kiri beliau itu membawa bekas yang tidak hilang.
2. Melihat Ka’bah Dengan Telunjuknya.
Karomah beliau yang lain juga diperlihatkannya di saat mengunjungi salah satu masjid di Jakarta yakni Masjid Pekojan. Masjid yang dibangun oleh salah seorang keturunan cucu Rasulullah saw Sayyid Utsmân bin ‘Agîl bin Yahya al-‘Alawi. Masjid Ulama dan Mufti Betawi itu ternyata memiliki kiblat yang salah. Padahal yang menentukan kiblat bagi mesjid itu adalah Sayyid Utsmân sendiri. Kemudian, suatu ketika Sayyid Utsmân kedatangan tamu seorang anak remaja (Syaikh Nawawi muda) yang menyalahkan arah kiblat masjid Pekojan. Saat seorang anak remaja yang tak dikenalnya itu menyalahkan penentuan kiblat, kagetlah Sayyid Utsmân. Diskusipun terjadi dengan seru antara mereka berdua. Sayyid Utsmân tetap berpendirian kiblat Mesjid Pekojanya itu sudah benar. Sementara Syaikh Nawawi muda berpendapat bahwa arah kiblat masjidnya itu harus dibetulkan. Namun kesepakatan tak bisa diraih karena masing-masing mempertahankan pendapatnya dengan keras. Selanjutnya, Syaikh Nawawi meletakan tangan kirinya ke bahu Sayyid Utsmân (merangkul) dan tangan kananya menunjuk ke suatu arah, Syaikh Nawawi berkata : “Lihatlah Sayyid !, itulah Ka΄bah tempat Kiblat kita. Lihat dan perhatikanlah ! Tidakkah Ka΄bah itu terlihat amat jelas ? Sementara Kiblat masjid ini agak kekiri. Maka perlulah kiblatnya digeser ke kanan agar tepat menghadap ke Ka΄bah”. Ujar Syaikh Nawawi remaja”. Sayyid Utsmân termangu keheranan. Ka΄bah yang ia lihat dengan mengikuti telunjuk Syaikh Nawawi muda memang terlihat jelas. Sayyid Utsmân merasa takjub dan menyadari remaja yang bertubuh kecil di hadapannya ini telah dikaruniai kemuliaan, yakni terbukanya nur basyariyyah. Dengan karomah itu, di manapun beliau berada Ka΄bah tetap terlihat. Dengan penuh hormat, Sayyid Utsmân langsung memeluk tubuh kecil beliau. dan berjabat tangan sambil mencium tanganya, ketika Sayyid Utsmân ingin mencium tanganya, ditariklah tanganya (Syaikh Nawawi), Sayyid Utsmân pun kebingungan mengapa beliau tidak mau?, Sayyid Utsmân pun bertanya dan Syaikh Nawawi menjawab: “Karena saya tidak pantas untuk bersalaman sambil dicium begitu oleh Sayyid”. Subhanallah alangkah bagusnya akhlak beliau. Sampai saat ini, jika kita mengunjungi Masjid Pekojan akan terlihat kiblat digeser, tidak sesuai aslinya.
3. Tidur Di Lidah Ular.
Konon pada suatu malam hari dimana beliau melanjutkan perjalananya ke Mekkah, beliau kelelahan dan mencari sebuah gubuk yang tak berpenghuni. Setelah mencari-cari akhirnya beliau menemukan lampu yang sangat redup dan kecil. Akhirnya beliau tiba di tempat tersebut dan memulai untuk beristirahat. Dibenak beliau bertanya: “Kok lantai dasar rumah ini sangat lembut dan empuk ya ?”. Saking lelahnya beliah tidak terlalu mempersoalkan hal tersebut, tidurlah beliau dengan meletakan tongkatnya dengann posisi berdiri.
Pagi pun datang dan beliau terbangun dari tidurnya untuk sholat dan kemudian melanjutkan perjalananya. Setelah kurang lebih 7 langkah dari tempat peristirahatanya itu, beliau menyentuh darah dari ujung tongkatnya tersebut, dengan heran kemudian beliau menoleh kebelakang dan menemui ular raksasa yang sedang beranjak pergi. Tanpa disadari ternyata semalem beliau tidur dilidah seekor ular raksasa dan tongkatnya yang berposisi berdiri tersebut merintangi kedua gigi ular itu. Beliau pun langsung menyebut kalimat istigfar dan memuji kebesaran Allah SWT dengan mengucapkan kalimat kebesaran-NYA.
4. Mengeluarkan Buah Rambutan Dari Tangannya.
Di Mekkah beliau mendirikan tempat mengajar/sekolah dengan murid yang lumayan banyak. Disuatu hari beliau menerangkan kepada para santri-santrinya :
Syaikh Nawawi : “Sunnah Islam kalau berbuka puasa itu hendaknya memakan yang manis-manis terlebih dahulu, kalau disini terdapat buah kurma, ditempatku ada yang tidak kalah manisnya dengan kurma !”.
Santri-santri : ”Betul Syaikh kalo ditempat kami kurma, lalu bagaimana dengan tempat Syaikh yg tidak tumbuh buah kurma ?”
Syaikh Nawawi : “Sebentar”
Syaikh Nawawi langsung menyembunyikan tanganya ke belakang tubuhnya. Santri-santri pun sangat heran apa yang dilakukan gurunya tersebut dan terdengar ditelinga para santri-santri seperti suara orang yang sedang mengambil buah-buahan dari pohonya. Kemudian Syaikh Nawawi menyuguhkan buah Rambutan yang persis seperti baru diambil dari pohonya. Santri-santri pun sangat terheran-heran dengan apa yang dilakukan oleh gurunya tersebut.
“Nah ini yang aku makan pertama ketika berbuka puasa di tempatku, silahkan dicicipi”. Kata Syaikh Nawawi sambil membagika buah rambutan kepada para santri dikelasnya mengajar.
Para santri pun langsung mencicipi dan sangat menikmati kemanisan buah rambutan yang diberikan gurunya itu.
5. Jenazah beliau yang luar biasa.
Syaikh Nawawi Al Bantani wafat pada 25 Syawwal 1314 H/1897 M, dalam usia 84 tahun. Dan telah menjadi kebijakan Pemerintah Arab Saudi bahwa orang yang telah dikubur selama setahun kuburannya harus digali. Tulang belulang si mayat kemudian diambil dan disatukan dengan tulang belulang mayat lainnya. Selanjutnya semua tulang itu dikuburkan di tempat lain di luar kota. Lubang kubur yang dibongkar dibiarkan tetap terbuka hingga datang jenazah berikutnya terus silih berganti. Kebijakan ini dijalankan tanpa pandang bulu. Siapapun dia, pejabat atau orang biasa, saudagar kaya atau orang miskin, sama terkena kebijakan tersebut. Inilah yang juga menimpa makam Syaikh Nawawi. Setelah kuburnya genap berusia satu tahun, datanglah petugas dari pemerintah kota untuk menggali kuburnya. Tetapi yang terjadi adalah hal yang tak lazim. Para petugas kuburan itu tak menemukan tulang belulang seperti biasanya. Yang mereka temukan adalah satu jasad yang masih utuh. Tidak kurang satu apapun, tidak lecet atau tanda-tanda pembusukan seperti lazimnya jenazah yang telah lama dikubur. Bahkan kain putih kafan penutup jasad beliau tidak sobek, masih harum dan tidak lapuk sedikitpun.
Tentu saja kejadian ini mengejutkan para petugas. Mereka lari berhamburan mendatangi atasannya dan menceritakan apa yang telah terjadi. Setelah diteliti, sang atasan kemudian menyadari bahwa makam yang digali itu bukan makam orang sembarangan. Langkah strategis lalu diambil. Pemerintah melarang membongkar makam tersebut. Jasad beliau lalu dikuburkan kembali seperti sediakala. Hingga sekarang makam beliau tetap berada di Ma΄la, Mekah dan yang paling aneh kuburan beliau satu-satunya kuburan yang tumbuh rumput bahkan rumput nya hijau dan bagus. Subhanallah.
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.