Cari di Blog Ini

KH Shaleh Darat As Samarani

KH Shaleh Darat As Samarani



KH Shaleh Darat lahir di Kedung Cumpleng, Kecamatan Mayong, Jepara, tahun 1235 H/1820 M. Nama lengkap beliau Muhammad Shalih ibn Umar as-Samarani. Beliau mempunyai dua orang murid yang dikemudian hari masyhur dan terkenal dalam menyebarkan agama Islam di Indonesia melalui organisasi yang mereka dirikan, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyyah. Kedua murid beliau tersebut juga disahkan oleh pemerintah Negara Indonesia sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Kiyai Haji Ahmad Dahlan (1868 M - 1934 M), dengan Surat Keputusan Pemerintah RI, No. 657, 27 Disember 1961, dianugerahi Gelar sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Hadhratusy Syaikh Kiyai Haji Hasyim Asy'ari (1875 M - 1947 M), dengan Surat Keputusan Presiden RI, No. 294, 17 November 1964 dianugerahi Gelar sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, dan seorang lagi murid beliau yang bukan seorang Ulama', mendapat pengakuan Pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan Nasional, beliau adalah Raden Ajeng Kartini (1879 M - 1904 M), dengan Surat Keputusan Presiden RI, No. 108, 12 Mei 1964 dianugerahi Gelar sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

KH Shaleh darat mengawali pendidikannya dari Ayahanda beliau yaitu KH Umar, seorang ulama besar dan pejuang Islam yang dipercaya Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa melawan Belanda di wilayah pesisir utara Jawa. Setelah mendapat bekal ilmu agama dari ayahanda beliau, KH Shaleh kecil mulai mengembara, melanjutkan safari ke-ilmuan-nya di beberapa pesantren. Selama thalabul ilmi beliau banyak berjumpa dan berguru kepada kyai-kyai masyhur yang dikenal memiliki kedalaman serta keluasan ilmu. Salah satu guru beliau adalah KH M Syahid Waturaja, ulama besar di Waturoyo, Pati, Jawa Tengah. K.H. M. Syahid Waturaja yang merupakan cucu dari Syaikh Ahmad Mutamakkin adalah seorang ulama asal Desa Kajen, Margoyoso, Pati Jawa Tengah yang hidup di jaman Mataram Kartosuro pada sekitar abad ke-18. Dari Sang Guru itulah, beliau belajar beberapa kitab fiqh, seperti Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, Minhaj al-Qawim dan, Syarh al-Khatib. Dan karena kitab-kitab tersebut bukanlah “kelas” pengantar, maka mempelajarinya tak pelak membutuhkan waktu relatif lama.

Sesudah belajar kepada Kiyai Haji Syahid, safari keilmuannya dilanjutkan dengan berguru kepada Kyai Raden Haji Muhammad Salih ibn Asnawi, di Kudus. Dari Kyai Raden Haji Muhammad Salih beliau mengkaji Kitab Al-Jalalain al-Suyuti. Kemudian di Semarang beliau mendalami nahwu dan sharaf dari Kyai Haji Ishaq Damaran. Dan selanjutnya belajar ilmu falak dari Kyai Abu Abdillah Muhammad al-Hadi ibn Baquni. Lalu kepada Syaikh Sayyid Ahmad Bafaqih Ba’lawi, beliau mengkaji kitab Jauharah at-Tauhid buah karya Syaikh Ibrahim al-Laqani dan Minhaj al-Abidin karya Al-Ghazali. Dan dari Syaikh Abdul al-Ghani Bima, di kota Semarang, beliau mendalami Kitab Masa’il as-Sittin karya Abu al-Abbas Ahmad al-Misri tentang ajaran dasar Islam populer di Jawa sekitar abad ke- 19.

Tak pernah puas, haus ilmu, itulah sifat setiap ulama. Demikian pula beliau, nyantri kepada Kyai Syada’ dan Kyai Murtadla pun dijalaninya, yang kemudian menjadikan beliau sebagai menantu Kyai Murtadla. Ayah KH Shaleh Darat, Kyai Haji Umar sangat berkeinginan agar anaknya kelak menjadi seorang ulama yang berpengetahuan luas sekali gus berpengalaman. Keinginan seperti itulah yang membuat Kyai Haji Umar mengarahkan KH Shaleh Darat agar memiliki pengetahuan yang luas dan pengalaman yang dalam. Berenang di lautan ilmu telah dilalui KH Shaleh Darat pada pendidikan pengajian pondok. Kemudian untuk memperoleh pengalaman, mestilah melalui berbagai saluran. Seseorang yang berpengetahuan tanpa pengalaman adalah kaku. Sebaliknya seseorang yang berpengalaman tanpa pengetahuan yang cukup adalah ibarat tumbuh-tumbuhan hidup di tanah yang gersang. Seseorang yang berjaya menghimpunkan pengetahuan dan pengalaman hidup yang demikianlah yang diperlukan oleh masyarakat Islam sepanjang zaman. Karna itulah, Kyai Haji Umar mengajak KH Shaleh Darat merantau ke Singapura. Dan beberapa tahun kemudian, setelah KH Shaleh Darat menjadi menikah dengan putri Kyai Murtadla, bersama ayahnya, beliau berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji.

Ketika berada di kota Makkah bersama Ayahnya, Sang Ayahanda, Kyai Haji Umar pulang ke Rahmatullah (wafat). KH Shaleh Darat pun mengambil keputusan dengan bertawakal kepada Allah untuk tinggal di Makkah, mendalami berbagai ilmu kepada beberapa orang ulama di Makkah pada zaman itu.

Di tanah haram, beliau berguru kepada ulama-ulama besar, antara lain Syaikh Muhammad al-Muqri, Syaikh Muhammad ibn Sulaiman Hasbullah al-Makki, Sayyid Ahmad ibn Zaini Dahlan
Syaikh Ahmad Nahrawi, Sayyid Muhammad Salen ibn Sayyid Abdur Rahman az-Zawawi, Syaikh Zahid, Syaikh Umar asy-Syami, Syaikh Yusuf al-Mishri, Syaikh Jamal Mufti Hanafi, dan lain-lain. Beberapa santri seangkatannya, antara lain Syaikh Muhamad Nawawi Banten (Syaikh Nawawi Aljawi) dan KH Cholil Bangkalan. Dan karena kecerdasan, kealiman dan keluasan ilmu serta kemampuannya, akhirnya Mbah Shaleh mendapat ijazah dari beberapa gurunya untuk mengajar di Makkah.

Selama di Makkah, beliau didatangi banyak murid, terutama dari kawasan Melayu-Indonesia. Di antara muridnya sewaktu beliau mengajar di Makkah ialah KH Mahfudz At Tarmasi, KH Hasyim Asy’ary, KH Bisri Syansuri, dan banyak lagi Ulama’-Ulama’ Nusantara lainnya. Beberapa tahun kemudian Mbah Shaleh (KH Shaleh Darat) kembali ke Semarang karena ingin berkhidmat kepada tanah airnya. Beliau kemudian mengajar di Pondok Pesantren Darat milik mertuanya KH Murtadla. Semenjak kedatangannya, pesantren itu berkembang pesat. Dan karenanya beliau dikenal sebagai Kyai Shaleh Darat. Di pesantren inilah, banyak murid yang kelak menjadi ulama’ besar berdatangan menimba ilmu kepada beliau, diantaranya adalah : Kyai Haji Mahfuz Termas yang pakar hadits dan pendiri Pesantren Termas Pacitan, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari sang pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, Kyai Haji Ahmad Dahlan sang pendiri Jam’iyyah Muhammadiyah, Kyai Haji Idris pendiri Pesantren Jamsaren Solo dan Kyai Haji Sya’ban sang ahli ilmu falak yang tersohor, Kyai Haji Bisri Syamsuri, Kyai Haji Dalhar yang dikenal sebagai Wali Allah Mursyid Thoriqoh Syadziliyyah dan pendiri Pesantren Watucongol, Muntilan, selain itu beliau juga merupakan guru spiritualitas RA. Kartini. Dengan demikian dapat dikatakan, Kiai Shaleh Darat merupakan guru bagi ulama-ulama besar di Tanah Jawa. Bahkan sampai Nusantara.

Mengenai salah satu muridnya yang terkenal tetapi bukan dari kalangan ulama adalah Raden Ajeng Kartini. Karena RA Kartini inilah Mbah Shaleh Darat menjadi pelopor penerjemahan al-Qur’an ke Bahasa Jawa. Menurut catatan cucu Kyai Shaleh Darat, RA Kartini pernah punya pengalaman tidak menyenangkan saat mempelajari Islam. Guru ngajinya memarahinya karena dia bertanya tentang arti sebuah ayat Qur’an. Kemudian ketika berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak, RA Kartini menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh Mbah Shaleh Darat. Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat al-Fatihah. RA Kartini menjadi amat tertarik dengan Mbah Shaleh Darat. Dalam sebuah pertemuan RA Kartini meminta agar Qur’an diterjemahkan karena menurutnya tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya. Tetapi pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan al-Qur’an. Mbah Shaleh Darat melanggar larangan ini. Beliau menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam huruf “arab gundul” (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah. Kitab tafsir dan terjemahan Qur’an ini diberi nama Kitab Faid ar-Rahman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada R.A. Kartini pada saat dia menikah dengan R.M. Joyodiningrat, seroang Bupati Rembang. Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan: “ Selama ini al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.” Melalui terjemahan Mbah Shaleh Darat itulah RA Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya: Orang-orang beriman dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya (Q.S. al-Baqarah: 257). Dalam banyak suratnya kepada Abendanon, Kartini banyak mengulang kata “Dari gelap menuju cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda: “Door Duisternis Toot Licht.” Oleh Armijn Pane ungkapan ini diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang,” yang menjadi judul untuk buku kumpulan surat-menyuratnya. Namun sayangnya penerjemahan kitab ini tidak selesai karena Mbah Shaleh Darat keburu wafat.

Pemikiran dan Ajaran KH Shaleh Darat
   
Kyai Shaleh Darat dikenal sebagai pemikir di bidang ilmu kalam. Ia adalah pendukung paham teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah. Pembelaannya terhadap paham ini jelas kelihatan dalam bukunya, Tarjamah Sabil al-’Abid ‘ala Jauhar at-Tauhid. Dalam buku ini, ia mengemukakan penafsirannya terhadap sabda Rasulillah SAW mengenai terpecahnya umat islam menjadi 73 golongan sepeninggal Beliau, dan hanya satu golongan yang selamat.

Menurut KH Shaleh Darat, yang dimaksud Nabi Muhammad SAW dengan golongan yang selamat adalah mereka yang berkelakuan seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, yaitu melaksanakan pokok-pokok kepercayaan Ahlussunah Waljamaah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah.

Kepada murid-muridnya, Mbah Shaleh Darat selalu menganjurkan agar mereka giat menuntut ilmu. Menurut beliau inti sari Al Qur’an adalah dorongan kepada umat manusia untuk menggunakan seluruh potensi akal-budi dan hatinya guna memenuhi tuntutan kehidupan dunia dan akhirat.

Kiai Shaleh Darat memperingatkan kepada orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan dalam keimanannya, bahwa ia akan jatuh pada paham atau keyakinan sesat. Dalam Kitab Tarjamah Sabil al-‘Abid ‘Ala Jauharah al-Tauhid, KH Shaleh Darat menasehati bahwa, orang yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan sama sekali dalam keimanannya, akan jatuh pada paham dan pemahaman yang sesat dan menyesatkan. Sebagai misal, paham kebatinan menegaskan bahwa amal yang diterima oleh Allah Ta ’Ala adalah amaliyah hati yang dipararelkan dengan paham manunggaling kawulo Gusti-nya Syaikh Siti Jenar dan berakhir tragis pada perilaku taklid buta. Iman orang taklid tidak sah menurut ulama muhaqqiqin, demikian tegasnya. Lebih jauh diperingatkan juga, agar masyarakat awam tak terpesona oleh kelakuan orang yang mengaku memiliki ilmu hakekat tapi meninggalkan amalan-amalan syariat lainnya, seperti sholat dan amalan fardhu lainnya. Kemaksiatan berbungkus kebaikan tetap saja namanya kebatilan, demikian inti petuah religius beliau.

Sebagai ulama yang berpikiran maju, ia senantiasa menekankan perlunya ikhtiar dan kerja keras, setelah itu baru bertawakal, menyerahkan semuanya pada Allah. Ia sangat mencela orang yang tidak mau bekerja keras karena memandang segala nasibnya telah ditakdirkan oleh Allah SWT. Ia juga tidak setuju dengan teori kebebasan manusia yang menempatkan manusia sebagai pencipta hakiki atas segala perbuatan. Tradisi berpikir kritis dan mengajarkan ilmu agama ini terus dikembangkan hingga akhir hayatnya.

Karya Tulis KH Shaleh Darat 

Beliau adalah sosok yang sederhana dan bersahaja, Kesederhanaan yang ditopang kebersahajaan pribadinya, membuatnya selalu merendah dan menyebut dirinya sendiri sebagai orang Jawa yang tak faham seluk-beluk centang-perenang bahasa Arab. Ini terlihat dari karangan-karangan beliau dimana pada setiap prolog selalu tertulis, “buku ini dipersembahkan kepada orang awam dan orang-orang bodoh seperti saya”. Dalam Terjemahan Matan al-Hikam pada pendahuluannya tertera begini, “Ini kitab ringkasan dari Matan al-Hikam karya Al-Alamah al-Arif billah Asy-Syaikh Ahmad Ibn Ata’illah, saya ringkas sepertiga dari asal, agar memudahkan terhadap orang awam seperti saya, saya terjemahkan dengan bahasa Jawa agar cepat paham bagi orang yang belajar agama atau mengaji.

Ternyata, basis pemikiran sederhana ini, justru memotivasinya untuk melahirkan beragam karya intelektual yang bertujuan terarah yakni, pembelajaran murah-meriah dan sederhana kepada orang Jawa yang tak mengerti benar bahasa Arab. Niat tulus inilah yang di kemudian hari diwujudkannya dalam bentuk buku tafsir atas kitab berbahasa Arab yang telah disuntingnya ke dalam bahasa Jawa.

Di antara karangan Kiyai Haji Syeikh Shaleh Darat as-Samarani yang telah diketahui adalah seperti berikut :
  1. Majmu'ah asy-Syari'ah al-Kafiyah li al-'Awam, kandungannya membicarakan ilmu-ilmu syariat untuk orang awam
  2. Munjiyat, kandungannya tentang tasawuf, merupakan petikan perkara-perkara yang penting dari kitab Ihya' `Ulum ad-Din karangan Imam al-Ghazali
  3. Al-Hikam, kandungannya juga tentang tasawuf, merupakan petikan perkara-perkara yang penting daripada Kitab Hikam karangan Syeikh Ibnu `Athaullah al-Askandari.
  4. Latha'if at-Thaharah, kandungannya membicarakan tentang hukum bersuci.
  5. Manasik al-Hajj, kandungannya membicarakan tatacara mengerjakan haji.
  6. Ash-Shalah, kandungannya membicarakan tatacara mengerjakan sembahyang
  7. Tarjamah Sabil al-`Abid `ala Jauharah at-Tauhid, kandungannya membicarakan akidah Ahli Sunnah wal Jamaah, mengikut pegangan Imam Abul Hasan al-Asy`ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi.
  8. Mursyid al-Wajiz, kandungannya membicarakan tasawuf atau akhlak.
  9. Minhaj al-Atqiya', kandungannya juga membicarakan tasawuf atau akhlak.
  10. Hadis al-Mi'raj, kandungannya membicarakan perjalanan Nabi Muhammad s.a.w. dari Makkah ke Baitul Maqdis dan selanjutnya hingga ke Mustawa menerima perintah sembahyang lima kali sehari semalam. Kitab ini sama kandungannya dengan Kifayah al-Muhtaj karangan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani.
  11. Faidhir Rahman, kandungannya merupakan terjemahan dan tafsir al-Quran ke dalam bahasa Jawa. Kitab ini merupakan terjemahan dan tafsir al-Quran yang pertama dalam bahasa Jawa di dunia Melayu. Menurut riwayat, satu naskah kitab tafsir tersebut pernah dihadiahkan kepada Raden Ajeng Kartini ketika menikah dengan R.M. Joyodiningrat (Bupati Rembang).
  12. Asrar as-Shalah, kandungannya membicarakan rahasia-rahasia Sholat.
Hampir semua karya Kiyai Haji Shaleh Darat ditulis dalam bahasa Jawa dan menggunakan huruf Arab (Pegon atau Jawi). Hanya sebagian kecil yang ditulis dalam bahasa Arab, dan sebuah yang ditulis dalam bahasa Melayu. Sebagian besar kitab-kitab beliau sampai sekarang terus di cetak-ulang oleh beberapa percetakan milik orang Arab di Surabaya dan Semarang. Ini kerana ia masih banyak diajarkan di beberapa pondok pesantren di berbagai pelosok Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah.

Ada beberapa bahwa orang yang paling berjasa menghidupkan dan menyebarluaskan tulisan Pegon (tulisan Arab bahasa Jawa) ada tiga orang, ialah Syeikh Nawawi al-Bantani, Kiyai Khalil Al Bangkalani dan Kiyai Haji Shaleh Darat Semarang. Namun KH Shaleh Darat adalah yang lebih dapat diakui, kerana apabila kita pelajari karya-karya Syeikh Nawawi al-Bantani semuanya dalam bahasa Arab bukan dalam bahasa Jawa. Kemudian Kiyai Khalil Al BAngkalani pun, karya tulisnya tak sebanyak jumlah karya tulis yang disusun oleh KH Shaleh Darat dalam bentuk bahasa jawa.

Karamah KH Shaleh Darat 

Sebagai Ulama’ beliau juga dikenal sebagai Wali Allah Mbah yang memiliki karamah. Makam beliau juga menjadi tujuan ziarah banyak orang. Salah seorang yang juga dikenal sebagai wali Allah yang suka mengunjungi makam beliau adalah Gus Miek (K Hamim Jazuli) dari Ploso, Mojo, Kediri, Jawa Timur.

Dikisahkan bahwa suatu ketika Mbah Shaleh Darat sedang berjalan kaki menuju Semarang. Kemudian lewatlah tentara Belanda berkendara mobil. Begitu mobil mereka menyalip Mbah Shaleh, tiba-tiba mogok. Mobil itu baru bisa berjalan lagi setelah tentara Belanda memberi tumpangan kepada Mbah Shaleh Darat. Di lain waktu, karena mengetahui pengaruh Mbah Shaleh Darat yang besar, pemerintah Belanda mencoba menyogok Mbah Shaleh Darat. Maka diutuslah seseorang untuk menghadiahkann banyak uang kepada Mbah Shaleh, dengan harapan Mbah Shaleh Darat mau berkompromi dengan penjajah Belanda. Mengetahui hal ini Mbah Shaleh Darat marah, dan tiba-tiba dia mengubah bongkahan batu menjadi emas di hadapan utusan Belanda itu. Namun kemudian Mbah Shaleh Darat menyesal telah memperlihatkan karamahnya di depan orang. Beliau dikabarkan banyak menangis jika mengingat kejadian ini hingga akhir hayatnya.

Wafat Beliau  

Kyai Shaleh Darat wafat di Semarang pada hari “Jum’at Wage” tanggal 28 Ramadlan 1321 H/ 18 Desember 1903 dan dimakamkan di pemakaman umum “Bergota” Semarang. dalam usia 83 tahun.

Meski demikian, peringatan haul beliau dilaksanakan baru pada tanggal 10 Syawal. Itu semata-mata agar masyarakat kota Semarang dan luar kota Semarang bisa mengikutinya dengan leluasa, setelah merayakan Lebaran dan Syawalan.

  


Naqaltuha 'an :

Penakluk Badai
karya : Aguk Irawan Mn
dan berbagai sumber lainnya

1 komentar:

shofiyuddinakhmad@gmail.com mengatakan...

kepadanya kita persembahkan suratul fatihah, semoga Alloh senantiasa mensucikan ruh dan jiwanya, amin. al fatihah.............

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.